Kota Bekasi,Terkait tudingan melakukan mal praktek. Pihak Rumah Sakit (RS) KH Bekasi mengakui sempat ada miskomunikasi dengan keluarga bocah mati batang otak di Bekasi usai operasi amandel.
Komisaris sekaligus pemilik Rumah Sakit KH Nidya Kartika mengatakan, miskomunikasi terjadi soal resume medis terhadap Benediktus Alvaro Darren, 7 tahun, yang meninggal karena mati batang otak.
Nidya menjelaskan, selama perawatan Alvaro terjadi kendala dalam berkomunikasi dengan keluarga pasien yang menyebabkan terjadi kesalahpahaman.
“Saya terlambat mengetahui informasi lengkap dan tidak tersampaikannya apa yang keluarga inginkan, yaitu meminta resume medis bukan rekam medis,” kata Nidya dalam konferensi pers kasus tersebut, Selasa, 3 Oktober 2023.
Dia menuturkan pemberian resume medis kepada keluarga Alvaro agar kedua pihak bisa sama-sama mencari rumah sakit rujukan yang fasilitasnya lebih lengkap demi kesembuhan Alvaro.
Atas masalah itu, Direktur RS KH Dian Indah mengatakan, pihaknya memohon maaf kepada keluarga Alvaro dan turut berbelasungkawa atas meninggalnya bocah kelas dua SD itu.
Menurut Nidya, pihak rumah sakit sudah berusaha semaksimal mungkin dalam proses penyembuhan Alvaro. “Kami sudah mengupayakan usaha rujukan dan terus berkoordinasi dengan RS lain, dengan tetap mempertimbangkan kondisi pasien dan kami bersama tim perawat juga terus berupaya maksimal dengan berkoordinasi dengan keluarga, demi kesembuhan adik BA,” tandasnya.
Selain itu, kata dia, pihaknya sudah berupaya mencari lebih dari 80 rumah sakit rujukan di Jabodetabek untuk Alvaro, bocah mati batang otak di Bekasi.
Nidya Kartika mengatakan, puluhan rumah sakit menolak jadi RS rujukan bagi anak 7 tahun yang mengalami mati batang otak setelah operasi amandel tersebut.
“Kami mempersiapkan fasilitas penunjang untuk meminimalisir risiko saat merujuk, mengingat, kondisi adik BA yang non-transferable, di mana, sampai kemarin kami sudah mencari lebih dari 80 rumah sakit rujukan dengan jaminan umum di seluruh Jabodetabek,” kata Nidya dalam konferensi kasus tersebut, Selasa, 3 Oktober 2023.
Pihaknya juga sudah berupaya mendatangkan konsultan medis dari rumah sakit lain untuk memeriksa Alvaro. Pihak rumah sakit juga telah berusaha mencari jurnal-jurnal kesehatan untuk menjadi acuan dalam menangani Alvaro.
Soal rumah sakit lain menolak jadi rujukan, kata Nidya, kondisi Alvaro yang sangat berisiko jika dipindahkan bisa jadi alasan rumah sakit lain menolak jadi rujukan. Selain itu, kasus yang sudah dibawa ke ranah hukum bisa juga menjadi penyebab rumah sakit lain menolak jadi rujukan.
“Alasannya tidak bisa membantu ya mungkin karena kondisi dari anak yang non-transferable ini berisiko sekali sampai di sana dan mungkin ini ada kasus hukum yah, di mana-mana rumah sakit tidak mau menerima karena mungkin takut terbawa-bawa itulah kesulitan kami,” ujar Nidya.
Pihak RS sempat mendapat rumah sakit lain yang bersedia jadi rujukan. Namun, kondisi Alvaro pada Senin, 2 Oktober 2023 makin memburuk.
“Usaha mencari rujukan sudah mendapat titik terang itu di hari Senin, akomodasi sudah standby, konsultasi dengan konsultan medis sudah terjadwal, tetapi kondisi adik BA semakin menurun dan semakin jauh dari harapan. Pada Senin kemarin adik BA tidak bisa bertahan,” ujar Nidya.
Sebelumnya, ayah Alvaro, Albert Francis menjelaskan, kasus itu berawal saat dua anaknya, J, 9 tahun, dan Alvaro, 7 tahun, menjalani operasi amandel di rumah sakit tersebut. Kedua anak itu dirujuk dari puskesmas ke rumah sakit tersebut, karena menderita sakit tenggorokan dan telinga, serta harus menjalani pengangkatan amandel
Alvaro terlebih dahulu yang menjalani operasi amandel pada 19 September 2023. Adapun, J, juga menjalani operasi di hari yang sama dan kondisinya sudah pulih pascaoperasi amandel.
“Waktu operasi yang mendampingi itu istri saya, dia disodorkan form yang harus ditandatangani, entah persetujuan atau apa, karena pada saat itu kalut, jadi, langsung ditandatangani,” ujar Albert kepada wartawan, Senin, 2 Oktober 2023.
Albert kemudian mendapat kabar dari dokter bahwa operasi yang dijalani Alvaro berjalan lancar. Beberapa saat kemudian, Alvaro tiba-tiba mengalami sulit bernapas.
Pihak dokter sempat melakukan resusitasi jantung dan memasang ventilator kepada Alvaro. Beberapa waktu kemudian, dokter mendiagnosis bocah kelas dua SD itu mengalami mati batang otak. Alvaro lalu koma selama 13 hari hingga dinyatakan meninggal pada Senin malam.
Atas peristiwa dugaan malpraktik dalam kasus bocah mati batang otak di Bekasi itu pihak keluarga melaporkan sejumlah dokter rumah sakit tersebut ke Polda Metro Jaya pada 29 September lalu.
“Laporan kami sebenarnya ada tiga UU terkait yang kami laporkan. Pertama, tentang UU Kesehatan, kedua, itu tentang UU Perlindungan Konsumen, yang ketiga itu, UU KUHP yang lama Pasal 359, 360, 361,” kata Kuasa Hukum keluarga korban, Christmanto. (Red)
Eksplorasi konten lain dari Berita Informasi Terupdate, Teraktual dan Terkini Indonesia
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.