MANDIRIPOS.COM-Distorsi informasi mengenai Covid-19 menyebabkan terjadinya ketidaksepahaman antara tenaga maupun institusi kesehatan dengan masyarakat. Kondisi ini acapkali menggerus kredibilitas penyedia layanan kesehatan dalam hal keputusan penyelenggaraan jenazah secara protokol Covid-19. Awal dari penyelesaian mispersepsi ini adalah memahamkan masyarakat akan status yang berkaitan dengan Covid-19 dari jenazah serta prosedur penyelenggaraan jenazah yang dituntunkan padanya sesuai dengan rekomendasi medis maupun aturan formal yang berlaku.
Pada masa pandemi Covid-19 ini, seseorang dapat memiliki salah satu status yang berkaitan dengan Covid-19 yaitu: kontak erat, pelaku perjalanan, suspek, probable, konfirmasi, discarded, selesai isolasi dan sembuh. Diluar dari kelima tersebut adalah individu yang belum diketahui statusnya karena belum dilakukan pemeriksaan penegakan diagnosis Covid-19, tidak memiliki gejala untuk diputuskan sebagai suspek atau probable dan tidak memiliki faktor risiko untuk terjangkit Covid-19. Definisi dari masing-masing status tercantum jelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang pedoman pencegahan dan pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Keputusan Menteri Kesehatan tersebut juga memberi panduan bahwa jenazah yang penyelenggaraanya dilakukan secara protokol Covid-19 adalah jenazah yang memiliki status konfirmasi, probable atau kontak erat dengan orang terkonfirmasi Covid-19. Dengan demikian, hasil positif dari pemeriksaan RT-PCR (yang dikenal sebagai hasil swab karena metode pengambilan sampel adalah dengan melakukan swab faring) bukanlah syarat mutlak untuk memutuskan penyelenggaraan protokol Covid-19 pada jenazah. Apabila pemeriksaan RT-PCR tidak dapat dilakukan atau hasil pemeriksaan RT-PCR belum keluar dengan kendala apapun maka penyelenggaraan protokol Covid-19 pada jenazah dapat diputuskan oleh tenaga medis berdasarkan gabungan gejala klinis, pemeriksaan fisik, riwayat perjalanan atau kontak dengan kasus konfirmasi yang dapat disertai pemeriksaan penunjang lainnya sehingga kemudian memenuhi kriteria probable atau kontak erat. Panduan dalam KMK ini mengadaptasi dari panduan interim yang dikeluarkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi untuk pemulasaraan jenazah secara aman dalam konteks Covid-19. Keduanya bertujuan untuk mencegah penularan lebih lanjut dari jenazah yang memiliki virus (pada kasus konfirmasi) atau kemungkinan memiliki virus (pada kasus probable atau kontak erat) kepada orang-orang yang menyelenggarakan atau melayat jenazah.
Di dalam dunia medis kita mengenal dua pendekatan dalam menatalaksana kasus: best-case scenario (skenario kasus terbaik) dan worst-case scenario (skenario kasus terburuk). Keputusan untuk menentukan jenispendekatan yang akan dilakukan didasarkan pada kajian holistik mengenai besarnya benefit (keuntungan) dan harm (kerugian) dari penerapan pendekatan tersebut pada suatu kasus (pertimbangan “maslahat” dan “mursalat”). Best-case scenario misalnya digunakan pada penggunaan obat-obatan yang memiliki efek samping cukup berat untuk pasien, dalam hal ini pasien harus diasumsikan tidak mengalami penyakit sampai memiliki bukti yang kuat bahwa ia memang menderita suatu penyakit untuk dapat diberikan obat tersebut. Sedangkan, dalam hal pencegahan penyakit menular, apalagi pada situasi pandemi, konsep yang digunakan worst-case scenario untuk mencegah kemungkinan terburuk. Dengan demikian, dalam konteks tatalaksana jenazah Covid-19, semua jenazah yang memenuhi kriteria probable atau kontak erat dianggap terinfeksi Covid-19 sampai terbukti tidak. Pemberlakuan konsep ini akan lebih besar kemanfaatannya dalam pencegahan transmisi virus (yaitu mencegah terjadinya penularan jika ternyata kasus tersebut merupakan kasus konfirmasi) dibandingkan dengan kerugian yang terjadi bila tidak menggunakan konsep ini (yaitu terjadinya penularan jika ternyata kasus tersebut merupakan kasus konfirmasi).
Konsep yang menyatakan virus tidak dapat hidup pada benda mati harus dipahami sebagai virus tidak dapat berkembang biak pada benda mati dan tidak memiliki arti bahwa virus akan langsung mati jika berada pada benda mati. Coronavirus manusia dapat bertahan hidup hingga 9 hari pada permukaan benda mati seperti logam, kaca atau plastik. Bahkan, virus SARS-CoV-2 yang merupakan penyebab Covid-19 masih terdeteksi pada permukaan seperti plastik dan baja stainless steel hingga 72 jam. Oleh sebab itu, seorang yang meninggal dengan Covid-19 pada paru-paru dan organ-organnya yang lain masih mungkin terdapat virus yang hidup. Demikian pula dengan tubuh luar pasien yang juga memiliki kemungkinan menerima droplet atau cairan dari pasien sendiri sehingga dapat terjadi transmisi pada orang yang melakukan sentuhan fisik tanpa alat pelindung diri (sentuhan fisik langsung merupakan kriteria menetapkan status kontak erat seseorang).
Meninggal disebabkan Covid-19 vs meninggal dengan Covid-19
Isu lain yang menumpang pada mispersepsi terhadap status Covid-19 adalah belum utuhnya pemahaman masyarakat mengenai hubungan status konfirmasi Covid-19 dengan penyakit yang dialami pasien. Mortalitas dapat terjadi bukan hanya akibat komplikasi langsung dari Covid-19 itu sendiri (penyebab langsung, misalnya Covid-19 menyebabkan pneumonia, gagal napas dan akhirnya meninggal), tetapi juga dapat terjadi akibat komplikasi dari penyakit kronis yang dialami pasien sebelumnya yang dicetuskan oleh kondisi konfirmasi Covid-19. Pada kondisi yang terakhir ini, pasien sebelumnya sudah mengalami penyakit kronis, tetapi akibat terinfeksi Covid-19 tercetuslah komplikasi yang tidak pernah dialami oleh pasien. Pasien dengan tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama ketika menderita Covid-19 akan lebih rentan mengalami cedera sel pembuluh darah yang mengakibatkan kematian, pasien dengan penyakit ginjal kronis akan lebih mudah mengalami pembekuan darah di ginjal sehingga memperberat penyakit ginjal yang telah terjadi sebelumnya dan membawa kepada kematian, pasien yang sudah mengalami diabetes mellitus akan semakin parah hilangnya kontrol terhadap kadar gula ketika ia mengalami Covid-19 sehingga mempermudah terjadi kondisi ketoasidosis yang berujung pada kematian. Semua contoh ini merupakan bukti bahwa meskipun seseorang sebelumnya sudah menderita suatu penyakit kronis tetapi kondisi Covid-19 yang baru terjadi padanya memiliki kontribusi terhadap munculnya komplikasi penyakit kronis yang membawa kepada kematian. Kematian yang terjadi pada kasus-kasus seperti ini tergolong kepada kematian yang disebabkan oleh Covid-19 (baik sebagai penyebab dasar maupun penyebab antara).
Hubungan lain antara konfirmasi Covid-19 dengan kondisi atau penyakit pasien adalah komorbid yaitu pasien mengalami suatu penyakit tertentu dan juga memiliki status konfirmasi Covid-19 dimana Covid-19 bukan merupakan penyebab kematian pasien. Contoh yang bisa terjadi pada kondisi ini misalnya pasien dengan cedera kepala berat atau perdarahan akibat leukemia yang juga mengalami status konfirmasi Covid-19. Pada kasus seperti ini kematian terjadi bukan disebabkan Covid-19, tetapi pasien meninggal dengan kondisi terkonfirmasi Covid-19. Hal seperti ini mungkin saja terjadi mengingat status konfirmasi Covid-19 tidak mengharuskan seseorang memiliki gejala (jika tidak memiliki gejala Covid-19 saja bisa terjadi pada kasus konfirmasi Covid-19 apatah lagi memiliki komorbid penyakit lain).
Hubungan status konfirmasi Covid-19 dengan kematian pasien ini ditentukan oleh tenaga medis berdasarkan pengetahuan ilmiah mengenai patofisiologi dan perjalanan berbagai penyakit dan kondisi yang dialami pasien. Meskipun demikian, pembedaan apakah Covid-19 merupakan penyebab atau hanya komorbid dari penyakit yang menyebabkan kematian bukan merupakan determinan dalam memutuskan penyelenggaraan protokol Covid-19 pada jenazah. Pembedaan keduanya dilakukan hanya untuk kepentingan data kematian yang disebabkan Covid-19. Baik pasien meninggal disebabkan Covid-19 atau meninggal dengan Covid-19 keduanya sama-sama diselenggarakan dengan protokol Covid-19. Dengan demikian yang menjadi penentu apakah jenazah diselenggarakan dengan protokol Covid-19 adalah keputusan medis mengenai ada tidaknya status probable, konfirmasi atau kontak erat Covid-19 pada jenazah.
Perawang, 19 Oktober 2020
- Hasriza Eka Putra, M.Sc, Sp.A
Dokter Fungsional RSUD Perawang
Eksplorasi konten lain dari Berita Informasi Terupdate, Teraktual dan Terkini Indonesia
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.