SIAK – Tidak gila hormat karena dia tahu jabatan adalah titipan. Jabatan bisa datang dan pergi atau ditinggalkan dan meninggalkan. Itulah yang selalu Said Arif Fadilah ingat karena itu pesan ibunya.
Setelah mengembalikan mobil dinas yang digunakannya saat menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan Siak pada Rabu (15/7) pagi. Said Arif Fadilah sebenarnya ingin pamit dengan Bupati Siak Drs H Alfedri MSi, namun Bupati sedang ada kegiatan di Tualang, sehingga keinginan dan niat baik itu harus diundur.
“Saya hormati dia karena pimpinan saya. Saya hargai dia karena dia Bupati Siak. Makanya saya hendak pamit, datang tampak wajah, pergi tampak punggung, sebagai bentuk sportivitas,” ucap Arif bersemangat.
Pernah berjanji mengajak ke kediaman Gunawan yang akrab disapa Akang (81), pemilik toko kelontong atau sembako di Pasar Cina Twon dan kini tinggal di Jalan Prona tidak jauh dari Polsek Siak. Siang itu, Arif Fadilah merealisasikan janjinya.
Akang tinggal bersama anak dan menantunya. Istrinya masih sehat, namun pendengarannya sudah berkurang. Sedangkan akang pernah stroke dan kini sudah mulai pulih. Hanya ingatannya mulai melambat, sehingga saat Arif datang dia hanya tersenyum gembira dan dengan mata berbinar-binar menyapa dan menyambut Arif.
“Ibu saya dulu berutang belanjaan kepada Akang ini. Tahu sendirilah berapa gaji guru saat itu. Akang tidak hanya mengutangkan kami, tapi banyak pekerja dan guru yang berutang di toko kelontongnya,” cerita Arif di hadapan Akang dan istrinya.
Arif biasa saja menceritakan kehidupan masa kecilnya. Bahkan dia tidak sungkan memberi tahu ibunya berutang belanjaan untuk bertahan hidup sebagai guru dan membesarkan dia dan adik-adiknya yang sekolah. Bahkan dia menyebutkan ikut membantu ekonomi keluarga dengan mencari kayu bakar, menangkap ikan dengan sampan agar bisa dijual dan menyeberangkan orang-orang yang membutuhkan tumpangan.
Akang mendengarkan dengan seksama. Setelah Arif bercerita, sambil menatap wajah Arif, Akang tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Selanjutnya Arif mengisahkan bagaimana Akang mendoakannya agar Arif kecil menjadi camat.
“Ketika itu kami hendak pindah ke Pekanbaru. Saat itu sekitar tahun 1980. Ibu saya ada sisa utang Rp18 ribu. Karena hendak pindah dan sekalian pamit, ibu saya membayar utangnya. Namun, akang menolak. Dia bilang uang itu kasih kan Arif saja. Untuk sekolah Arif, biar dia jadi camat. Ucapan Akang itu sampai kini terus terngiang di telinga saya,” ucap Arif, yang disambut anggukan oleh Akang dengan air mata nyaris tumpah.
Pertemuan itu bukan untuk sedih-sedihan. Arif hanya bernostalgia mengenang masa kecilnya, mengenang orang-orang yang sudah berjasa dalam sejarah hidupnya.
“Tanpa mereka, tak mungkin saya bisa seperti ini. Tanpa orang-orang baik seperti mereka, bagaimana saya bisa tegar dan terus bersemangat belajar, membantu orangtua dan menjadi diri sendiri,” jelasnya.
Tak lama berbincang dengan Akang, putranya bernama Aleng pulang. Begitu senangnya dia melihat Arif Fadilah ada di rumahnya.
“Sejak kecil saya sudah kenal
Pak Arif. Ayah saya begitu senang dengannya. Karena Pak Arif orang baik dan sangat sopan kepada orangtua. Dia orang yang punya sikap dan berpendirian. Tak jarang ayah saya jika marah, mencontohkan, lihatlah Arif itu, ayahnya sudah tidak ada, namun dia baik dan sopan, serta singgung-sungguh dalam belajar. Makanya dia didoakan ayah saya menjadi camat,” cerita Aleng yang akan mendukung jika Pak Arif mencalonkan menjadi bupati.
Keluar dari rumah Aleng, Arif mengajak menyeberang ke Menpura. Awalnya dia hendak menunjukkan kepiawaiannya mengayuh sampan. Namun sayang, sampan sudah tidak ada, sehingga harus naik perahu bermesin untuk ke Benteng Hulu, Mempura.
Arif adalah Arif, dia tidak canggung saat mengambil alih mengemudikan perahu bermesin. Arif benar-benar bisa mengemudikan perahu bermesin itu.
Sekitar 100 meter dari tepian Sungai Siak di Benteng Hulu, Arif mengunjungi kediaman teman kecilnya. Di rumah sederhana, namun bersih itu lah temannya bernama Mustafa (59) tinggal.
Mustafa ternyata terkena stroke. Sudah empat tahun belakangan hanya bisa terbaring di ruang tamu. Ketika Arif datang, Mustafa usai dibersihkan.
“Mustafa ini teman saya sejak kecil. Dari SD sampai SMP saya berteman dengannya. Dia orangnya tidak banyak cerita, tapi penggurau,” ucap Arif mengenang masa kecilnya sambil menggenggam jemari sahabatnya itu.
Mendengar itu, awalnya Mustafa telentang, lalu secara perlahan bergeser, kemudian memiringkan badannya sembari menatap Arif. Kedengarannya seperti tertawa, ternyata Mustafa menangis.
“Menangis dia. Mungkin dia sedang mengenang bagaimana pertemanan kami dulu,” kara Arif yang mencoba menenangkan temannya itu, sambil mengatakan cepat sembuh ya. Aku doakan biar Allah angkat penyakit ini dan kita kembali berkumpul.
Arif minta didoakan atas pencalonan dirinya sebagai Bupati Siak. Mustafa sahabatnya mengangguk dan melepasnya pergi dengan senyum.
Selanjutnya Arif menunjukkan kediaman beberapa temannya. Arif menyebut mereka dengan nama panggilan masa kecil. Namun, tidak ada yang di rumah, sehingga Arif urung singgah.
Melintasi Jembatan Benteng, Arif menunjukkan rumah mertua adiknya di wilayah Kampung Tengah, namun sedang tidak di tempat. Selanjutnya tidak jauh dari situ, Arif menunjukkan di tepian Sungai Siak itulah dia dulu tinggal.
“Di dekat pohon durian itu dulu rumah kami. Sebelumnya di atas sana, ada rumah kakek kami, di sanalah kami tinggal,” kisah Arif bernostalgia mengenang masa kecilnya.
Dikatakan Arif, dia adalah orang yang tak lupa dengan sejarah. Dia juga menyebutkan bahwa dia juga bukan tipe orang yang melupakan jasa orang terhadapnya.
Baginya hidup terus berputar, semua ada masanya. Momen itulah yang kini ada di genggamannya dan akan diperjuangkannya, untuk perubahan. Untuk Siak yang lebih baik lagi.(rls)
Eksplorasi konten lain dari Berita Informasi Terupdate, Teraktual dan Terkini Indonesia
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.